JAKARTA - Hungaria memutuskan keluar dari Mahkamah Pidana Internasional (ICC) tepat saat Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berkunjung ke Budapest. Langkah ini diyakini sebagai upaya tak mau Netanyahu ditangkap di Budapest karena saat ini masih berstatus buronan ICC.
Dalam konferensi pers bersama Netanyahu, Perdana Menteri Hungaria Viktor Orban menegaskan bahwa negaranya tidak lagi ingin terikat dengan ICC, yang ia sebut sebagai "alat politik."
"Pengadilan ini telah berubah menjadi instrumen politik, dan Hungaria tidak ingin terlibat dalam permainan itu," ujar Orban.
Keputusan Hungaria ini semakin menarik perhatian karena Netanyahu saat ini menghadapi surat perintah penangkapan dari ICC atas dugaan kejahatan perang. Kunjungan ini menjadi kali pertama ia menjejakkan kaki di Eropa sejak surat perintah itu diterbitkan pada Mei 2024.
ICC menyatakan memiliki "alasan yang masuk akal" untuk menduga Netanyahu bertanggung jawab atas kejahatan perang, termasuk menggunakan kelaparan sebagai senjata perang. Namun, Netanyahu menolak tuduhan tersebut dan menyebutnya sebagai "tidak masuk akal dan antisemit."
Meski statusnya sebagai buronan, Tak mau Netanyahu ditangkap di Budapest, pemerintah Hungaria justru menyambutnya dengan penuh kehormatan. Karpet merah digelar di Istana Buda, dan berbagai elemen masyarakat menunjukkan dukungan terhadap Israel.
Keputusan Hungaria untuk keluar dari ICC menjadikannya satu-satunya negara Uni Eropa yang mengambil langkah ini. Sekretaris Negara Hungaria untuk Komunikasi dan Hubungan Internasional, Zoltan Kovacs, menegaskan bahwa proses resmi keluar dari ICC akan dimulai pada Kamis 3 April.
BACA JUGA:
Keputusan ini memicu reaksi beragam di Uni Eropa. Beberapa negara seperti Irlandia dan Spanyol menyatakan akan menangkap Netanyahu jika ia berkunjung ke wilayah mereka. Sementara itu, Prancis dan Jerman lebih berhati-hati, mempertanyakan yurisdiksi ICC atas Israel.
Tak mau Netanyahu ditangkap di Budapest, Hungaria kini berani mengambil langkah yang belum pernah dilakukan negara Uni Eropa lainnya. Langkah ini bisa menjadi awal dari pergeseran geopolitik yang lebih luas terkait keberlanjutan peran ICC dalam mengadili pemimpin dunia.