Bagikan:

JAKARTA – Regulasi menyangkut penyadapan berpotensi tumpang-tindih setelah menjadi salah satu poin dalam rencana revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri (UU Polri).

Seperti diketahui, dalam draf revisi UU Polri Pasal 14 ayat (1) huruf o RUU Polri, disebutkan bahwa Polri bisa melakukan penyadapan dalam lingkup tugas kepolisian sesuai dengan undang-undang yang mengatur mengenai penyadapan. Hingga kini, Indonesia belum memiliki undang-undang khusus penyadapan.

Sementara draf revisi KUHAP, mekanisme penyadapan dibahas jauh lebih rinci. Aturan mengenai penyadapan tercantum pada Pasal 124 hingga 128. Pada Pasal 124 beleid itu tertulis bahwa penyadapan harus atas seizin ketua pengadilan negeri.

Penyadapan tanpa izin ketua pengadilan negeri baru dapat dilakukan jika dalam keadaan mendesak, yakni ketika ada potensi terjadi bahaya maut atau ancaman luka berat, telah terjadi permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau telah terjadi permufakatan dalam tindak pidana terorganisasi.

Menurut pakar hukum dari Universitas Atmajaya Yogyakarta, Al Wisnubroto, regulasi yang mengatur mekanisme penyadapan urgen seiring perkembangan kompleksitas kejahatan dan teknik investigasi. Apalagi, KUHAP yang berlaku saat ini hanya mengenal lima upaya paksa, yakni penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat.

“Sebagai konsekuensinya, tindakan penyadapan tidak hanya diatur dalam RUU KUHAP, namun juga dalam berbagai RUU atau UU yang di dalamnya mengatur suatu lembaga yang salah satu perannya di bidang penegakan hukum. Contohnya UU KPK sebagai landasan hukum bagi penyidik KPK,” terangnya, Jumat 28 Maret 2025.

Dia menyatakan, regulasi mengenai penyadapan harus diatur jauh lebih rinci dalam revisi KUHAP. Selain itu, supaya tidak ada tumpang tindih kewenangan, perlu ada harmonisasi pasal-pasal di masing-masing UU yang mengatur penyadapan. Harmonisasi dan peninjauan ulang juga diperlukan supaya penyadapan tidak dijalankan secara sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Contohnya adalah poin yang mengatur kewenangan penyadapan tanpa seizin ketua pengadilan di draf RUU Polri.

Di luar untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana, kepolisian bisa menjalankan penyadapan demi menjalankan fungsi pengumpulan informasi intelijen dan keamanan (intelkam). Menurut Wisnu, kewenangan penyadapan tanpa izin untuk alasan intelkam yang nantinya dimiliki Polri potensial disalahgunakan.

“Tanpa pembatasan yang jelas, penyidik Polri bisa melakukan penyadapan yang potensial melanggar hak asasi manusia, menerobos privasi warga negara, dan membatasi kemerdekaan berekspresi. Bukan tidak mungkin, kewenangan itu akan tumpang tindih dengan yang dimiliki lembaga negara lain, semisal Badan Intelijen Negara. Dengan demikian, terkait dengan kewenangan yang berpotensi mengancam kebebasan individu dan hak asasi manusia, aturan mengenai itu harus dirumuskan secara cermat, jelas, lengkap dan hati-hati. Dalam hal ini, proses penyusunan RUU KUHAP dan RUU Kepolisian harus transparan dan melibatkan seluas mungkin partisipasi publik,” ujarnya.